MAKASSAR-- Peningkatan kualitas dan produktifitas daya saing kakao dirasa perlu pengawalan dari berbagai stakeholder.
Hal tersebut terungkap dalam Seminar nasional bertajuk "Peningkatan daya saing dan nilai tambah kakao di Indonesia" di Baruga Mangkasara, Kantor Perwakilan BI Sulsel, Rabu (2/12/15)
Kepala KPe BI Sulawesi Tenggara, Dwi Nugraha, menyatakan, pihaknya telah melakukan pengembangan melalui klaster yang merupakan sekelompok UMKM yang beroperasi pada sektor yang sama.
Pengembangan klaster diarahkan pada produk unggulan sehingga tujuan klaster dapat tercapai yakni mendukung pengendalian harva dan pengembanvan ekonom daerah melalui peningkatan kinerja UKMKM yang tergabung dalam klaster.
"Konsep pengembangan dilakukan dari hulu ke hilir dengan orientasi hulu pada penyediaan akses bahan baku dan sisi hilir pada akses pasar," jelasnya.
Dia memaparkan, produksi dan produktivitas kakao masih belum optimal karena berbagai kendala yang disebabkan oleh rendahnya kontinuitas bibit berkualitas baik, kalaupun ada, jumlahnya masih sangat terbatas, termasuk mayoritas usia tanaman sudah tua sehingga produktivitas turun.
"Termasuk juga penggunaan bahan kimia dengan rentang waktu yang lama. Khusus di Sulsel," paparnya.
Sementara itu Direktur Swisscontact, Manfred Borer mengatakan, pihaknya sebagai lembaga mitra petani mendorong 3 dimensi program, dimensi sosial, dimensi lingkungan dan Ekonomi .
"Jangan hanya berfokus ke ekonomi tapi sosial dan lingkungan juga," jelasnya. Sejauh ini, pihaknya sudah menjalin kerjasama dengan 60 ribu petani, 8 perusahaan di sektor swasta. Dengan kerjasama itu terjadi kenaikan 650 kilogram per hektarnya.
"Normalnya produksi kakao 2 kilogram per pohon per tahun, kalau indonesia masih dibawahnya. kalau Indonesia bisa meningkatkan sampai 1 kg sudan bagus, tapi kalau mau harus kerja keras 8 jam sehari," ulasnya.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementan RI, Dwi Praptomo, mengungkapkan, peningkatkan nilai tambah kakao secara umum mengolah hasil, fermentasi kakao masih kategori ingin ditingkatkan. Biji kering juga harus diproses jadi bahan setengah jadi.
"Setengah jadi di dalam negeri sudah bisa jadi permen cokelat, merek juga sudah bervariasi," tuturnya. Untuk nilai tambah, peran paling banyak dibutuhkan dari kementrian perindustrian.
"Mereka (perindustrian, red) berikan bantuan untuk pengolahan," ucapnya. Terkait akses permodalan, skem kredit ke petani masih dibahas, petani Kakao diuapayakan pada kredit sektoral.
"Kalau kakao peremajaan perlu waktu 4 tahun, rencana da kredit sektoral untuk kakao," terangnya Meski Sulawesi merupakan sentra Kakao terbesar di Indonesia, namun pihaknya masih berhati-hati dalam perluasan lahan karena harga kakao masih fluktuatif.
"Aga hati-hati, karena kalau misalkan lada harga Rp150 ribu itu masih memungkinkan, kakao masih fluktiasi harganya Rp37 ribu perkilo," katanya. Sejauh ini, pihaknya masih konsen diintensivikasi peningkatan produksi.
"Kita mau bisa meningkatkan produksi paling 1-1,5 ton perhektar pertahunnnya. Semoga dengan itu pendpatan petani bisa meningkat," imbuhnya.
Kepala Departemen UMKM BI Pusat, Yunita Resmisari, menambahkan, pihaknya mencatat Kredit 98 klaster di seluruh Indonesia, Pertanian menyerap 1.500 triliun, 80% diantaranya untuk sektor perkebunan.
"Pertanian sendiri masih 10%. Kakao masih sangat kecil, petani kakao masih akses kredit program," ulasnya. Mokhammad Dadi Aryadi, dalam pengembangan Kakao banyak mendapat rekomendasi dari diskusi untuk tingkatkan daya saing dengan sinergitas, juga butuh komitmen dari pemerintah, perbankkan, industri cokelat.
"Ini langkah awal untuk dukung pengembangan Kakao, memberikan rekomendasi mampu menjadi inspirasi semua pihak dalam rangka menyusun langkah konkrit, seminar jadi langkah awal dari klaster kakao," terangnya.
EmoticonEmoticon