MAKASSAR -- Rencana Pemerintah Sulawesi Selatan (Sulsel) membangun Center Point Indonesia (CPI) di kawasan Delta Tanjung Makassar, menyisakan sejumlah masalah baik aspek sosial ekonomi, maupun aspek Lingkungan.
Hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir, musnahnya biota laut (seperti kerang, terumbu karang dan hutan mangrove) merupakan dampak buruk dari megah proyek ini, dan yang paling ekstrim adalah abrasi yaitu naiknya permukaan laut akaibat pengikisan daerah pesisir pulau akibat penimbunan kawasan pesisir. Hingga dalam jangka panjang bisa saja menenggelamkan sejumlah pulau yang ada di perairan makassar.
Tak pelak, dari data terakhir Walhi menyebutkan sekitar 500 data keluarga yang bermukim di sepanjang pesisir pantai Makassar telah kehilangan mata pencaharian. Kini mereka hidup dibawa garis kemiskinan, kebanyakan dari mereka menjadi buruh kasar bahkan ada yang menjadi pemulung.
Berdasarkan Rancangan peraturan daerah (Ranperda) rencana tata ruang Center Poin Of Indonesia, Pemerintah Sulsel menggandeng PT Yasmin Bumi Asri dan Ciputra Surya TBK dalam tahap pelaksanaan reklamasi di lahan seluas 157 hektar, dari 1.500 hektar yang direncanakan. Dengan perjanjian, 157 hektar, 57 hektar diserahkan kepada provinsi menjadi area publik.
Selebihnya, 100 hektar dikelola PT Ciputra, sebagai kawasan industri (Pusat Bisnis Terpadu Indonesia) yang diperutukkan untuk kawasan bisnis, Perhotelan, dan pemukiman penduduk mewah.
Memang Rencana reklamasi pesisir ini menjadi sorotan hukum. Seperti yang dilakukan sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP). ASP
Menilai rencana pembangunan reklamasi tersebut cacat hukum.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampannye WALHI, Muhammad Al Amin, menjelaskan luas rencana struktur ruang pada KSP COI yang diusulkan pemerintah Sulsel memiliki luas 625,35 ha dari zona kawasan inti dan 840,75 ha di kawasan menyanggah sebagian besar direncanakan di dalam areal reklamasi yang belum memiliki aspek legal, seperti Peraturan Daerah (perda) zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil.
Menurutnya dalam konteks payung hukum reklamasi kegiatan reklamasi di wilayah pesisir haruslah diatur dalam. regulasi di level Provinsi dalam bentuk Perda zonasi wilayah pesisir.
"Dari perizinan kegiatan ini mestinya mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun sampai sekarang pembangunan ini berjalan tanpa ada akses legalitas dari kedua Kementerian tersebut, ini artinya reklamasi pantai di kawasan pesisir telah menyalahi aturan pemerintah," ungkapnya.
"Disamping itu kita juga akan mengajukan gugatan hukum Di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar terhadap izin pelaksanaan reklamasi Center Poin of Indonesia sepanjang Pantai Losari yang dikeluarkan Gubernur Sulawesi Selatan. Pemrov sangat tergesa gesa mengeluarkan izin ini, tanpa memperhatikan aspek lingkungannya," tambahnya.
Sementara itu Pembela Umum LBH Makassar Muhammad Haedir mengatakan, beberapa kejanggalan lain adalah tidak pernahnya diumumkan permohonan dan keputusan izin lingkungan yang baik berdasarkan UU 32 tahun 2009 tentang RPPLH.
Dengan demikian, izin yang diberikan tersebut tidak memenuhi syarat syarat yang ditetapkan UU. "Analisis dampak Lingkungan (Amdal) tidak pernah diumumkan ke publik, secara prosedur tidak pernah dilakukan konsultasi publik dan dikeluarkannya pada tahun 2010 sementara pelaksanaan pembangunan dilakukan di tahun 2013 semestinya dilakukan peninjauan ulang atas Amdal ini," tuturnya.
Sedangkan Risky Anggraeni, Pengurus Walhi, menambahkan, rencana pembangunan proyek reklamasi CPI bakal merugikan hak warga dan berdampak pada rusaknya lingkungan, seperti abrasi dan banjir, serta hilangnya hak atas pekerjaan bagi nelayan dan masyarakat pesisir, sehingga menimbulkan polemik sosial termasuk kemiskinan.
EmoticonEmoticon